BATU, inews.id - Apa yang istimewa dari sebuah bangunan pabrik gula? Mungkin beberapa dari kita tak mau membayangkan macam-macam, selain mesin-mesin giling dan cerobong asapnya yang menjulang tinggi.
Tapi anggapan itu mungkin akan segera terpatahkan ketika kita memasuki bangunan De Tjolomadoe, pabrik gula yang dipoles menjadi destinasi wisata yang Instagramable.
Tampak dari luar, bangunan megah pabrik yang berwarna krem menyambut para pengunjung, lengkap dengan interior yang membuat berdecak kagum.
Pengunjung De Tjolomadoe bisa melihat langsung seperti apa kondisi pabrik gula dengan mesin-mesin buatan Jerman yang masih terlihat tangguh itu.
Sejarah De Tjolomadoe
Sebelum menelusuri De Tjolomadoe lebih jauh, ada baiknya kita kenali dulu sejarahnya. Sebelum menjadi tempat wisata, De Tjolomadoe awalnya dikenal sebagai bangunan Pabrik Gula Colomadu atau disingkat PG Colomadu.
Didirikan tahun 1861 di kabupaten Karanganyar oleh KGPAA Mangkunegaran IV, pabrik ini mengalami perluasan area lahan tebu dan perombakan arsitektur pada tahun 1928.
Pada tahun yang sama, PG Colomadu mengalami pengembangan berupa penambahan sebuah bangunan baru di belakang bangunan lama. Saat ini, kedua bangunan tersebut dapat dikenali dengan jelas karena di masing-masing temboknya tertera tahun pembuatannya.
Bekas bangunan pabrik selua 1,3 ha itu mulai direvitalisasi dengan tetap mempertahankan nilai historisnya. Bintik-bintik karat di mesin giling seperti mengajak pengunjung menerawang ke masa lampau.
Mesin-mesin raksasa dari pabrik gula tersebut sengaja dipertahankan untuk memberikan tambahan wawasan sejarah bagi para pengunjung.
Dulu ketika PG Colomadu masih beroperasi, batang-batang tebu diolah di beberapa stasiun, yaitu: Stasiun Gilingan, Stasiun Penguapan, Stasiun Karbonatasi, dan Stasiun Ketelan.
Keempat stasiun ini masih dipertahankan bentuk aslinya dan pengunjung De Tjolomadoe bisa melihat-lihat. Seperti dilansir oleh detik.com, setelah kemerdekaan Indonesia, pabrik-pabrik gula yang kebanyakan dibangun oleh Belanda diambil alih oleh pemerintah dan pengelolaannya dilakukan oleh lembaga PTPN.
Seperti pabrik gula lainnya, PG Colomadu juga diambil alih oleh pemerintah pada tahun 1950, seiring dengan dicabutnya hak-hak istimewa Karesidenan Surakarta. Hal ini kemudian menimbulkan konflik tersendiri atas proyek revitalisasi PG Colomadu, mengingat Mangkunegaran merasa bahwa pabrik ini masih merupakan asetnya).
Wajah Baru PG Colomadu
Pada tahun 1998, PG Colomadu berhenti beroperasi. Itu artinya, hingga proses revitalisasi bangunan pabrik menjadi De Tjolomadoe, selama kurang lebih 20 tahun PG Colomadu tidak ada aktivitas.
Pada tahun 2017, empat perusahaan besar yang terdiri dari PT. PP Properti Tbk, PT. PP (Persero) Tbk, Borobudur, dan Ratu Boko (Persero), PT. Taman Wisata Candi Prambanan, dan PT. Jasa Marga Properti membentuk joint-venture dengan nama PT. Sinergi Colomadu, dengan tujuan untuk merevitalisasi PG Colomadu dari sebuah pabrik tua menjadi destinasi wisata yang merupakan area komersil.
Yang pasti, revitalisasi ini tidak dimaksudkan untuk membuat PG Colomadu ‘bernyawa’ kembali sebagai pabrik gula, melainkan area wisata yang lengkap dengan concert-hall bertaraf internasional.
Sebelum dibuka untuk umum, De Tjolomadoe sempat melewati masa studi kelayakan. Studi kelayakan itu melibatkan para pakar di bidang arsitektur, sejarah, dan budaya untuk mengubah pabrik gula yang mati suri itu menjadi kawasan destinasi wisata dan sekaligus menjadikannya sebagai kawasan komersial.
De Tjolomadoe Surakarta
Selesainya proyek besar ‘memoles’ PG Colomadu itu pun dirayakan dengan sebuah perhelatan konser akbar yang diisi dengan lantunan suara Anggun C. Sasmi dan juga David Foster & Friends di Tjolomadoe Hall.
Konser tersebut tak lain adalah upaya memperkenalkan De Tjolomadoe kepada masyarakat setelah peresmian oleh presiden yang dilakukan pada hari Sabtu, 24 Maret 2018. Tjolomadoe Hall sebagai tempat peresmian dan konser musik itu mampu menampung hingga 3.000 orang.
Wajah baru PG Colomadu kini sangat memukau. Meskipun kesan kuno masih dapat dirasakan, tapi hampir semua pengunjung mengakui bahwa saat di sana lebih merasa kalau suasananya mirip seperti di mall.
Udara di dalam ruangannya sejuk karena dilengkapi dengan pendingin udara, ada kedai kopi, kafe, restoran, dan juga penjual batik.
Meskipun dibangun kembali dengan fungsi yang berbeda, namun bagian-bagian asli pabrik tetap dipertahankan. Karena itulah, pengunjung yang datang seharusnya dapat menghargai hakikat bangunan pabrik ini sebagai warisan sejarah.
Tidak etis jadinya ketika ada pengunjung yang duduk atau mencoba naik di mesin-mesin tua, demi foto selfie. Alangkah baiknya kalau kunjungan ke De Tjolomadoe tidak hanya menghiasi linimasa media sosial, tapi juga menyempatkan diri menambah pengetahuan bahwa Pulau Jawa pernah memproduksi gula yang melimpah.
Sementara itu, Indonesia juga sempat menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia. Nah, apa kabar kini?
Editor : Dean Ismail