Lulus dari Akmil pada 1980, Pramono Edhie Wibowo memilih bergabung di pasukan tempur yakni Kopassus yang saat itu bernama Kopassandha. ”Saya mengambil jalur yang berbeda. Saya ingin berbeda dengan kakak saya. Kakak-kakak saya mengambil baret hijau, saya mengambil baret merah,” kenang Edhie dalam buku biografinya berjudul “Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo: Jejak Langkah Seorang Prajurit Komando”.
Selama pengabdiannya di Baret Merah, Pramono Edhie Wibowo beberapa kali diterjunkan ke medan operasi. Di antaranya Operasi Seroja di Timor-Timor kini Timor Leste. Karena loyalitas dan dedikasinya di medan operasi, Pramono Edhie Wibowo seringkali ditugaskan dalam operasi.
“Alhamdulillah…berkali-kali senior bertugas...saya ikut. Jadi dalam jumlah penugasan memang saya lebih banyak dari yang lain karena baru pulang kira-kira 10 hari sudah berangkat lagi,” ucapnya.
Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo. (Foto: Tokoh.id)
Selama mengabdi di Kopassus, sejumlah jabatan strategis pun diembannya mulai dari Komandan Batalyon 11 Grup 1 Kopassus Serang, Banten. Kemudian Wadan Grup 1 Kopassus. Setahun kemudian, Pramono Edhie Wibowo diangkat menjadi Asisten Operasi (Asops) Kopassus.
Setelah sukses dalam misi pendakian gunung tertinggi di dunia Mount Everest di Nepal, dia kemudian diangkat menjadi Komandan Grup 1 Kopassus Serang, Banten.
Sempat menjadi ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri, karier Pramono Edhie Prabowo di Kopassus terus melesat. Dia kemudian ditempatkan di Sesko TNI dengan jabatan Perwira Ahli Bidang Ekonomi dan Politik. Tidak lama kemudian, dia ditarik kembali ke Korps Baret Merah menjadi Wandjen Kopassus.
Puncaknya, Pramono Edhie Prabowo diangkat sebagai Danjen Kopassus menggantikan Mayjen TNI Soenarko. Dengan jabatan sebagai Danjen Kopassus, dia akhirnya mampu mengikuti jejak ayahnya menjadi orang nomor satu di pasukan elite tersebut.
Editor : Hikmatul Uyun